Senin, 03 Mei 2010

TAMAN TERINDAH DI SYURGA DUNIA


Zein tertunduk lesu mendengar penuturan Bima siang itu. Mengapa Bima tidak mengatakan dari awal pertemuan mereka? Sehingga Zein menaruh harapan lebih kepada Bima. Oh tidak! Ini tidak bisa diteruskan! Batin Zein.

“Jadi bagaimana Zein? Maukah kamu menerimaku?”

“Maafkan aku Mas Bim… aku tidak bisa menjadi yang kedua…”

Seketika tetesan air mata jatuh di pelupuk mata Zein dan dengan cepat ia hapus.

Bima menatap lurus wajah gadis yang baru ia kenal beberapa minggu ini. Dengan berat Bima menahan air mata yang juga ingin keluar dari bola matanya yang tajam. Oh… mengapa aku mencintai dua insan hawa??

“Pergilah Mas Bim… bahagiakan Mba Sita… namanya indah seindah wajahnya aku yakin itu dan kamu akan berbahagia bersamanya…”
Bima diam dan berlalu dari Zein. Betapa berat melangkahkan kaki meninggalkan Zein yang pasti hatinya terluka. Bima harus memilih… dan pilihannya jatuh pada Sita meski mungkin hatinya lebih besar memilih Zeini…

Zeini bergegas ke kamarnya. Ia menangis tersedu mengingat apa yang sudah ia alami begitu cepat. Ia begitu cepat menyukai Bima! Dan ia begitu cepat harus melupakan Bima…

***

Sita menunggu Bima di rumah. Berkali-kali ia menatap jam di rumah seakan bertanya kapankah Bima pulang ke rumah? Hingga ia terlelap tidur di sofa. Satu jam kemudian pada pukul sepuluh malam Bima tiba di rumah. Bima dengan pelan mengetuk pintu. Sita membukakan pintunya dan menyambut kedatangan Bima suaminya tercinta. Lalu ia membukakan sepatunya lalu memanaskan makanan. Mereka pun makan bersama.

“Ayah, bagaimana tadi? Apakah Zein menerimamu?” Tanya Sita dengan lembut

Bima hanya tersenyum, diam dan meneruskan makannya. Sita ikut diam dan tak berani bertanya lagi kepada Bima. Selesai makan, Bima ke kamar mandi setelah itu tidur. Sita dengan sabar menanti laporan suaminya itu. Namun hingga Bima terlelap Sita belum menemukan jawabannya. Sita pun tidur dan mengecup kening suaminya. Mungkin Mas Bima terlalu lelah hari ini. Pikirnya.

Paginya Bima masih diam. Ia berbicara seadanya dan tidak membahas pertemuannya kemarin dengan Zeini. Padahal Sita sangat ingin tahu apa yang terjadi. Dan ketika akan berangkat ke kantor. Bima mengajak Sita duduk di ruang keluarga. Barulah Bima bercerita bahwa kemarin Zeini tidak bisa menerimanya lamarannya. Dan ia tidak bisa menjadi istri kedua.

Sita menangkap kesedihan yang ada pada diri suaminya. Sita tahu bahwa Bima menyukai gadis itu dan ingin menikahinya. Dengan penuh kasih sayang, Sita menenangkan hati suaminya. Pengabdian Sita sebagai istri bagaikan seorang ibu kepada anaknya. Sungguh beruntung Bima mempunyai istri seperti Sita.

Setelah Bima berangkat ke kantor. Sita menelepon Zeini. Sita memang sudah memegang nomor Zeini.

“Assalamualaikum…” Sapa Zeini setelah Hp nya berdering

“Wa’alaikumsalam wr wb… Zein, saya Sita istrinya Mas Bima…” Sapa Sita balik

“Oh.. Mba…”

“Zein, maaf jika saya ikut campur dalam keputusan yang sudah kamu ambil. Tapi saya tidak bisa melihat wajah Mas Bima murung. Cobalah pikirkan lagi keputusanmu” Bujuk Sita pada Zein.

“Maaf mba… keputusan saya sudah bulat bahwa saya tidak bisa menerima Mas Bima. Terlebih lagi Mas Bima mempunyai istri baik dan solehah seperti mba. Zein tidak tega. Lagipula dari awal Zein tidak tahu status Mas Bima. Jika Zein tahu mungkin Zein tidak akan membiarkan perasaan ini” Zein agak terisak

“Zein, kamu sudah saya anggap adik sendiri. Tidak kah bisa kau rubah keputusanmu?”

“Maaf mba Sita… saya tidak bisa”

Sita diam sejenak “Ya sudah… meskipun tidak bisa. Moga tali persaudaraan ini tetap terjalin ya. Semoga nanti jodohmu akan segera datang. Bersabarlah. Apapun keputusanmu semoga itulah yang diridhoi Allah”

“Terimakasih Mba Sita. Mas Bima tidak salah memilih mba yang sangat baik ini. Saya harus banyak belajar dari mba”

“Segala puji hanya bagi Allah. Saya hanya manusia biasa Zein. Sudah ya. Wassalamualaikum” Sita mengakhiri pembicaraannya
“Alaikumsalam…”

Klik’…..

Sita menghela nafasnya. Lalu ia pergi mengambil air wudlu kemudian sholat Dhuha. Dalam sujudnya. Ia menangis. Dalam hati kecilnya ia merasa cemburu karena suaminya menyukai wanita lain. Di sisi lain, ia harus ikhlas menghadapi segala ujian ini. Bukankah ia yang memberikan izin kepada suaminya untuk menikah lagi? Lalu ia teringat ketika itu Bima pulang dari kantor dengan wajah sumringah. Ia dapati wajah itu ketika pertama kali ia melamarnya. Bima tampak lebih romantis dan bersikap seperti orang sedang pacaran. Sita yang begitu peka bertanya kepada suaminya. Bertanya apakah Bima sedang jatuh cinta pada seseorang? Dan benar saja Bima mengakuinya.

Bima bercerita bahwa ia berkenalan dengan Zeini oleh teman sekantornya yang merupakan sahabat Zeini. Zeini saat itu sedang pergi ke Bandung dan melamar pekerjaan di kantor Bima. Zeini sendiri berasal dari Cianjur. Sejak perkenalan itu Bima dan Zeini bertukar nomor telepon dan mereka makin akrab. Bima sendiri memang tidak mengaku bahwa ia sudah mempunyai istri. Jadi Zeini merasa hubungan mereka wajar dan Zeini pun menaruh rasa suka pada Bima. Begitupun Bima hingga akhirnya Bima bercerita pada Sita ingin menikah lagi.

Awalnya Sita kaget dan tersentak. Hal yang pernah ia kawatirkan akan terjadi juga. Memang sejak awal pernikahan Sita sudah menyiapkan diri bahwa kelak jika suaminya menikah lagi ia harus siap. Itulah pesan ibunya kepada Sita.

Bima pun dengan sopan meminta izin menikah lagi kepada Sita. Karena izin Sita lah yang membawa restu pernikahannya yang kedua ini. Lalu suami istri itu diskusi sebelum keberangkatan Bima ke Cianjur untuk melamar Zeini.

“Bunda, ayah tidak akan pergi ke Cianjur jika bunda tidak mengizinkan” Kata Bima
Sita menarik nafas menenangkan hati dan ia tersenyum seraya berkata

“Ayah, tetapkan niat. InsyaAllah bunda ikhlas. Bunda sudah menyiapkan jauh hari tentang perasaan ini. Bunda sudah minta petunjuk Allah dan bunda akan dukung ayah”

“Subhanallah… sungguh damai hati ini mendengar penuturanmu istriku…”
Lalu berangkatlah Bima ke Cianjur menemui Zeini.

***

Sepulang dari kantor. Bima nampak lesu. Sejak pulang dari Cianjur Sita melihat wajah suaminya selalu murung dan nafsu makannya berkurang. Sita sedih melihat keadaan suaminya itu. Dan benar saja. Keesokan harinya Bima muntah-muntah dan badannya panas. Menurut dokter, Bima kena tifus. Karena pikiran juga. Karena setelah ia pergi ke Cianjur dan Zeini menolak lamarannya sejak saat itu juga Zeini tidak pernah menghubungi Bima lagi. Meski sering Bima menghubungi Zeini. Hal itulah yang membuat Bima patah hati. Ada hati busuk yang menyelinap dari hati Sita. Kalau saja Bima tidak pernah bertemu dengan Zeini… Astaghfirullah… Sita membuang semua pikiran buruknya. Kini ia harus merawat suaminya.

Dengan sabar Sita menjaga Bima hingga kesembuhannya. Seminggu sudah Bima terbaring di Rumah Sakit dan Sita merawatnya. Buah hati mereka Fiona ditinggal di rumah bersama neneknya. Kadang Fiona yang masih berusia 4 tahun itu memanggil ayahnya karena sudah lama tidak pernah bermain lagi bersama. Dan ketika diajak ke rumah sakit. Fiona tampak sedih karena melihat ayahnya hanya bisa terbaring di kasur.

“Bunda… ayah kenapa? Fifi pengen maen sama ayah…” Fiona memegang tangan Bima

“Ayah lagi sakit nak… nanti kalau sudah sehat insyaAllah bisa main lagi sama kamu. Nah sekarang kamu mau ga nyuapin makanan ayah?” Bima merayu gadis kecil itu. Dan Fiona mengangguk tegas. Sita hanya bisa melihat keakraban ayah dan anak itu dan terus berharap semoga Bima cepat pulih.

Cukup lama Bima cuti dari pekerjaannya karena penyakit tifus nya agak akut. Selama itu pula Sita dengan sabar menemani Bima. Dan kini Bima sudah bisa pulang ke rumah. Kesehatannya belum juga pulih namun sudah bisa dirawat di rumah saja. Ketika berada di kamar, Bima meminta Sita untuk duduk di sampingnya. Ada hal yang ingin ia sampaikan.

“Sita, istriku yang manis… ayah ingin minta maaf sama bunda” Bima memegang jemari Sita. Dada sita berdegup kencang seperti pertama kali mereka bertemu pada malam pengantin.

Lalu Sita bertanya “Untuk apa yah?”

“Untuk semua yang telah ayah lakukan pada bunda. Ayah tau perasaan bunda akan terluka ketika ayah menyukai wanita lain bahkan ada niat ingin menikahinya. Tapi ayah melihat kesabaran yang bunda pancarkan membuat ayah malu dan tidak pantas untuk menyakiti bunda. Kini ayah sadar bahwa bunda itu terlalu indah untuk ayah duakan…” Pegangan Bima semakin erat dan hangat.

“Ayah… bunda sudah ikhlas jika ayah menikah lagi. Bunda sudah menyiapkan itu. Apalagi melihat ayah jadi sakit seperti ini mungkin juga gara-gara tidak terpenuhi keinginannya. Bunda jadi bersalah karena tidak bisa membujuk Zeini untuk menerima ayah dan……” Belum selesai Sita meneruskan kata-katanya Bima menutup bibirnya dengan jarinya…

“Ssstt… Sita bidadariku… tidak usah teruskan kata-kata itu lagi ya. Ayah sangat bersyukur mendapat istri seperti bunda. Ayah tidak bisa kuat kalau tidak ada bunda. Ayah hanya ingin bunda” Bima menatap tajam wajah Sita. Sita tersipu dibuatnya.

Taman terindah di syurga dunia adalah keluarga. Bima tidak akan melepas syurga itu untuk kedua kalinya. Ia ingin membangun keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah hanya bersama Sita.

Ketulusan cinta Sita dan kesabarannya membuat Bima terpesona kepada istrinya. Bima pun jatuh cinta lagi kepada Sita.

***

Tiga bulan kemudian…

“Bunda… tante Zeini menelpon…” Fiona memberikan telpon rumah itu pada Sita

“Assalamualaikum Zeini… apa kabar?” Sapa Sita

“Alhamdulillah mba, Zeini sehat… moga mba dan Mas Bima juga sehat. Gini mba… Zein ingin memberitahukan insyaAllah minggu depan Zein menikah”

“Alhamdulillah sama siapa Zein?”

“Sama kakak kelas Zein dulu waktu kuliah di Unpad. Mas dan Mba datang ya. Maaf undangannya nggak bisa dikirim. Hanya melalui telpon ini saja. Gapapa ya…”

“Iya ga apa-apa Zein. InsyaAllah kami akan datang. Salam untuk calon suami kamu ya”

“Iya mba. Salam juga untuk Mas Bima. Wassalamualaikum”

“Wa’alaikumsalam wr wb”

Klik’

Cintailah insan kau kasihi dengan sekadarnya karena kelak engkau mungkin akan membencinya pula… Cintailah insan kau kasihi dengan sekadarnya karena kelak engkau mungkin akan membencinya pula…
Bencilah manusia kau musuhi Dengan seadanya Kerana kelak engkau mungkin Akan menyintainya pula.